Peralihan BPHTB
dari Pajak Pusat menjadi Pajak Daerah
Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan
suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Bentuk kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan
sektor Perdesaan dan Perkotaan. Dengan pengalihan ini maka kegiatan proses
pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan
pelayanan BPHTB akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
Adapun tujuan Pengalihan pengelolaan BPHTB menjadi
pajak daerah sesuai dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
adalah:
- meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah
- memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah),
- memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi dengan memperluas basis pajak daerah,
- memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak daerah, dan
- menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.
PERSIAPAN PENDAERAHAN PBB P2 DAN BPHTB
Untuk melakukan pendaerahan PBB P2 dan BPHTB
diperlukan persiapan yang matang yang harus dilakukan oleh pemeritah daerah
yang bersangkutan yang meliputi peralatan, peraturan, pembiayaan, dan personil.
Peralatan yang harus dipersiapkan meliputi perangkat
lunak dan perangkat keras. Perangkat lunak merupakan sistem aplikasi yang
selama ini telah dioperasikan oleh Diretkorat Jederal Pajak dalam mengelola PBB
yang terdiri dari sistem aplikasi oracle, Daftar Biaya Komponen Bangunan
(DBKB), Bank Data Nilai Pasar Properti (BDNPP), Sistem Manajemen Informasi
Objek Pajak (Sismiop), dan lain-lain. Sedangkan perangkat keras merupakan
peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk menunjang pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan yang terdiri dari High Speed Printer, Scanner dan Plotter,
Komputer dan Printer, Global Posistioning System (GPS),
Distometer, Theodolit, File Storage, Digital Camera, dan lain-lain.
Di bidang peraturan, maka harus dipersiapkan beberapa
peraturan daerah yang berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan PBB P2 dan BPHTB
yang menyangkut pendataan, penilaian/penentuan NJOP, pencetakan SPPT/STTS/DHKP,
penerbitan salinan SPPT/Surat Keterangan NJOP, penetapan pajak (NJOPTKP,
NPOPTKP, ketetapan minimal, dan lain-lain), administrasi penerimaan, pemungutan
dan tempat pembayaran, penagihan, tunggakan, pemeriksaan/penelitian,
pengurangan dan keberatan, dan lain-lain.
Di bidang pembiayaan, jelas merupakan suatu investasi
awal yang tidak sedikit yang meliputi pendataan dan penilaian objek dan subjek
PBB P2 dalam rangka pembentukan basis data, pengadaan barang (formulir
SPPT/STTS, dll), peralatan, honorarium tim (petugas pungut, dll.), pelatihan
SDM, biaya administrasi, pencetakan data keluaran, dan lain-lain.
Di bidang personil, pemerintah daerah harus menyiapkan
personil yang bertugas sebagai pendata atau surveyor, penilai (valuer),
operator console dan operator data entry, administrasi
pemungutan, pemungut, penagih/juru sita, pendistribusi SPPT, dan lain-lain.
DAMPAK PENGALIHAN PBB P2 dan BPHTB
Pengalihan PBB P2 dan BPHTB dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah jelas memiliki dampak yang bersifat positif maupun negatif
bagi pemerintah daerah yang bersangkutan.
- 1. Dampak Positif
- Akurasi data objek dan subjek PBB P2, dapat lebih ditingkatkan karena aparat pemerintah daerah lebih menguasai wilayahnya apabila dibandingkan dengan aparat pemerintah pusat sehingga dapat meminimalisir pengajuan keberatan dari para wajib pajak PBB P2;
- Daerah memiliki kemampuan meningkatkan potensi PBB P2 dan BPHTB sepanjang penentuan NJOP selama ini oleh pemerintah pusat dinilai masih dibawah nilai pasar objek yang bersangkutan (optimalisasi NJOP);
- Pemberdayaan local taxing power, yaitu kewenangan penuh daerah dalam penentuan tarif dan pengelolaan administrasi pemungutan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas;
- 2. Dampak Negatif
- Peningkatan NJOP yang sama dengan nilai pasar dapat mengakibatkan naiknya ketetapan PBB yang dapat menimbulkan gejolak masyarakat;
- Penggunaan tarif maksimum guna meningkatkan potensi PBB P2 apabila tidak hati-hati dan dikaji secara mendalam dapat menimbulkan gejolak masyarakat karena penggunaan tarif maksimum dapat menaikkan PBB P2 sebesar tiga kali lipat;
- Dalam rangka pengelolaan PBB P2 dan BPHTB, pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, baik untuk kemungkinan penambahan kantor dan pegawai baru maupun untuk melengkapi peralatan administrasi, komputerisasi dan pelatihan SDM;
- Kesenjangan penerimaan PBB P2 antar daerah makin menonjol karena disparitas potensi penerimaan pajak daerah lainnya. Daerah yang memiliki potensi penerimaan pajak daerah lainnya atau mengandalkan bagi hasil lain dari pemerintah pusat, cenderung mengabaikan pemungutan PBB P2 (karena sulit dan kompleks bahkan tidak dipungut) dan sebaliknya daerah yang semata-mata mengandalkan penerimaan PBB P2 kemungkinan akan menerapkan tarif yang maksimal guna menggenjot penerimaannya;
- Pendaerahan PBB P2 dan BPHTB dapat mengakibatkan beragamnya kebijakan antara satu daerah dengan daerah lainnya, misalnya perbedaan tarif, NJOPTKP, dan NPOPTKP. Perbedaan tersebut dapat mengakibatkan ketidakadilan baik bagi masyarakat wajib pajak, pelaku bisnis, maupun masyarakat pada umumnya.
Peralihan
BPHTB perkotaan dan pedesaan dari pajak pusat menjadi pajak daerah yang diatur
dalam UU 28 Tahun 2009, akan memberi dampak juga terhadap keuangan negara dan
keuangan daerah. Pada prinsipnya secara administrasi terjadi perpindahan
pencatatan hasil pemungutan BPHTB, jika sebelumnya penerimaan BPHTB tercatat
pada keuangan negara (APBN) dalam penerimaan perpajakan, kemudian setelah
mekanisme peralihan berjalan akan masuk dalam PAD khususnya pajak daerah.
Dampak terhadap Keuangan Negara
Dampak peralihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak
daerah terhadap keuangan negara diperkirakan tidak terlalu besar, karena
sebelum dialihkan BPHTB tercatat dalam penerimaan perpajakan namun juga
dibagi-hasilkan ke daerah lewat mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH). Selain itu
bila dilihat dari proporsinya, BPHTB pedesaaan dan perkotaan memberi sumbangan
yang relatif tidak besar dibanding BPHTB pertambangan.
Untuk melihat dampak peralihan BPHTB terhadap keuangan
negara, dilakukan dengan cara mengurangi penerimaan BPHTB dengan perkiraan
nilai BPHTB pedesaan dan perkotaan dalam pendapatan dan hibah pada APBN tahun
2010 - 2014. Adapun perkiraan nilai BPHTB tersebut didapatkan dari total
realisasinya pada tahun 2009, yaitu sebesar Rp 6.877,3 miliar, dikalikan dengan
pertumbuhan ekonomi tahun 2010 sebesar 5,8 persen.
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi yang sama untuk
tahun-tahun selanjutnya, perkiraan realisasi tahun selanjutnya didapatkan dari
hasil perkalian perkiraan realisasi tahun sebelumnya dengan pertumbuhan ekonomi
tersebut.
Beberapa dampak terhadap keuangan Pusat yang diamati
akibat peralihan BPHTB perkotaan dan pedesaan tersebut adalah:
1.
Penerimaan negara
Peralihan BPHTB tetap mengurangi penerimaan
perpajakan. Berpindahnya administrasi BPHTB ke daerah, diperkirakan akan
mengakibatkan berkurangnya penerimaan perpajakan tahun 2010-2014 rata-rata
sebesar 0,79 persen. Bila sebelum dialihkan, rata-rata proyeksi penerimaan
perpajakan adalah sebesar Rp 1.035.627,92 miliar, setelah BPHTB pedesaan dan
perkotaan dialihkan rata-ratanya menjadi sebesar Rp 1.027.457,31 miliar.
Sementara pendapatan dan hibah akan turun rata-rata sebesar 0,64 persen dari
proyeksinya.
2.
Surplus/Defisit Anggaran
Peralihan BPHTB
pedesaan dan perkotaan berkontribusi tidak terlalu besar terhadap penerimaan
negara, namun cukup berarti dalam mempengaruhi besarnya defisit APBN. Kebijakan tersebut, diperkirakan akan meningkatkan defisit pada
tahun 2010-2014 dari proyeksi yang telah dilakukan,
rata-rata sebesar 8,30 persen. Walaupun bila dilihat dari persentase akan
terjadi peningkatan defisit, namun bila dibandingkan dengan defisit tahun 2009
yang sebesar Rp 129.844,9 miliar, maka proyeksi nilai defisit APBN tahun
2010-2014 cenderung makin kecil, yaitu berkisar antara Rp 48.051,6 – 166.021,6
milar, atau rata-rata sebesar Rp 106.614,67 miliar.
Bahwa dari sisi belanja negara seharusnya nilai DBH
sedikit berkurang karena komponen DBH Pajak telah dikurangi oleh BPHTB terutama
BPHTB perkotaan dan pedesaan. Sehingga proyeksi yang dilakukan terhadap defisit
APBN, nilainya akan lebih kecil dari yang telah disebutkan.
Dampak
terhadap Keuangan Daerah
Peralihan BPHTB terhadap keuangan daerah dampaknya
bisa beragam. Terhadap provinsi tentunya akan mengurangi penerimaan, karena
peralihan BPHTB menyebabkan provinsi tidak mendapatkan 16,8 persen penerimaan BPHTB,
kecuali DKI Jakarta yang memungut sendiri BPHTB-nya. Bagi kabupaten/kota dapat
berdampak penambahan atau pengurangan penerimaan, penambahan karena semua
penerimaan BPHTB masuk rekening kabupaten/kota, sedangkan pengurangan mungkin
terjadi karena tidak ada lagi 6,5 persen bagian Pusat yang dibagikan secara
merata kepada kabupaten/kota.
Hal tersebut sejalan dengan simulasi yang disusun ADB
(2010) menggunakan data tahun 2005-2008 untuk menggambarkan dampak peralihan BPHTB.
Simulasi tersebut berasumsi bahwa BPHTB pedesaan dan perkotaan dilimpahkan ke
PAD tanpa adanya perubahan dalam dukungan DAU. Dalam jangka pendek, pelimpahan BPHTB
ke kabupaten/kota tidak akan menambah potensi tingkat BPHTB yang dikumpulkan
oleh Pemda, dengan asumsi bahwa wilayah properti, nilai dan tarif pajak tetap
sama.
Dari simulasi tersebut menunjukkan sejumlah 451
kabupaten/kota (jumlah kabupaten/kota tahun 2008), atau sekitar 75 persen
mengalami penerimaan yang lebih rendah dari APBD mereka, sementara 25 persen
lainnya mendapatkan lebih banyak. Namun bila dilihat dalam nilai rupiah
ternyata mengalami net surplus, dengan kisaran Rp 398-690 miliar atau rata-rata
Rp 544 miliar/tahun pada tahun 2005-2008.
Surplus tersebut hanya dinikmati 25 persen kabupaten/kota dengan rata-rata pertahun perkabupaten/kota sebesar Rp 11,1 miliar. Sedangkan 75 persen lainnya mengalami defisit rata-rata pertahun perkabupaten/ kota sebesar Rp1,9 miliar, karena rendahnya penerimaan BPHTB dari daerahnya dan hilangnya kesempatan memperoleh 6,5 persen penerimaan BPHTB bagian Pusat yang dibagi rata ke semua daerah.
Surplus tersebut hanya dinikmati 25 persen kabupaten/kota dengan rata-rata pertahun perkabupaten/kota sebesar Rp 11,1 miliar. Sedangkan 75 persen lainnya mengalami defisit rata-rata pertahun perkabupaten/ kota sebesar Rp1,9 miliar, karena rendahnya penerimaan BPHTB dari daerahnya dan hilangnya kesempatan memperoleh 6,5 persen penerimaan BPHTB bagian Pusat yang dibagi rata ke semua daerah.
Implikasi Sosial
Dan Ekonomi
Peralihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah
mempunyai implikasi sosial dan ekonomi sebagai berikut:
- Menjamin ketersediaan anggaran untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
- Meningkatkan kepastian hukum.
- Meningkatkan pelayanan publik, dengan syarat masyarakat tidak dipungut secara berlebihan.
- Menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Kemudian, agar terciptanya kelancaran dalam
pengelolaan BPHTB-P2, pemerintah kabupaten/kota harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
- Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah
- Kebijakan tarif BPHTB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat
- Menjaga kualitas pelayanan kepada WP, dan
- Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar